Saturday, June 26, 2010

As-Syahid Nabil, pemuda Al-Quran

“Apakah ibu redha padaku ?” itulah kalimat terkahir yang diucapkan Asy-Syahid Nabil Abdirrahman sesaat sebelum ia meninggalkan kehidupan fana ini. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di hospital Rafidia Nablus.

Tentera Mujahid

Nabil Khatir lahir di kampung Baruqain berhampiran Salvet pada 25/2/1979. Sebegaimana keluarga Mujahid lainya, Nabil Khatir terkenal dengan ketakwaan dan kesolehannya. Ia adalah anak bongsu dari lima saudara lelaki dan enam saudara perempuannya. Tentunya ia punyai sifat yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain, sebagai anak paling kecil di rumah tersebut. Namun ia lebih memilih tinggal di rumahnya sahaja.

Briged Izzuden Al Qassam

Nabil mendapat pendidikan awal dan menengah di kampungnya di Barqoin dan berhasil memperoleh ijazah jurusan ilmu alam.

Dia seorang yang cerdas, pintar dan giat dalam belajar. Sejak kecil dia dididik dengan akhlak Islam. Keluarganya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Sejak masih anak-anak dia sudah dikenalkan dengan masjid dan pendidikan jihad. Tak jarang ia terserempak dengan tentera Israel, ketika pasukan zionis dengan bengisnya menghancurkan rumahnya saat menggeledah dan menangkap suadaranya, terutama pada intifadhah pertama.

Dalam hatinya tumbuh kecintaan pada negaranya dan kebencian yang mendalam pada penjajahan.

Setelah ia lulus dari sekolah menengah, dia kemudian melanjutkan ke Universiti Kholil jurusan pertanian pada tahun 1998. Saat itu di Palestin terjadi pergolakkan terutama di Tebing Barat akibat perjanjian Madrid yang berlanjut ke perjanjian Oslo yang dilihat merugikan bangsa Palestin.

Ketika itu Nabil bergabung dengan madrasah jihad. Sebuah kumpulan pro-Islam, wahana pembentukan pemuda dan kelahiran para pahlawan. Nabil lalu menyertai level komandan dan memenangi pemilihan pada kategori mahasiswa. Akan tetapi, jawatan tersebut tidak membuat Nabil puas akan kecintaannya terhadap Islam. Dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari fakulti pertanian dan berpindah ke fakulti Syari’ah untuk memantapkan pemahaman agamanya.

Kebisuan Negara Arab dan mandulnya pemerintahan mereka, dalam menghadapi kekejaman Israel, membuat Nabil merasa sedih dan semakin hampa perasaannya. Pada masa yang sama Zionis Israel semakin menindas rakyat Palestin. Maka tak hairan bilamana semangat untuk membela dan melindungi sesamanya semakin kencang dan di sudut lain kerinduannya terhadap syahadah makin membara dalam jiwanya.

Hatinya yang lembut tak rela melihat pemerintahan Islam begitu lemah dalam melindungi Al-Aqsha. Dorongan untuk segera mendapatkan mati syahid tidak mengendurkan semangatnya untuk membela saudaranya, walau sesibuk mana sekalipun kehidupan hariannya.

Maka puncak cita-citanya dalam menggapai syahadah menjelma apabila dia bergabung dengan brigade Izzudin Al-Qossam. Bersama Izzudin, dia melakukan berbagai operasi penyerangan dan pengeboman terhadap tentera musuh.

Pada malam ke sepuluh, Februari tahun 2000, sebelum intifadhah al-Aqsha meletus. Nabil beserta sejumlah temannya mempersiapkan operasi pengeboman terhadap jantung permukiman Israel dan kota-kota yang berada di bawah jajahannya.

Sebagaimana layaknya orang yang melakukan operasi syahid, sebelum Nabli menuju permukimin Israel di Ariel, ia membungkus badannya dengan bom dan granit. Kedua tanganya pun menggenggam dua buah granat yang siap diledakkan.

Kecintaanya pada syhahadah melebihi dentuman granit ketika meledak. Namun Allah ternyata berkehendak lain, bom yang dipasang di badannya meledak sebelum tiba waktunya.

Namun inilah mungkin hikmah disebaliknya. Nabil diberi kesempatan oleh Allah dapat bertemu untuk terakhir kali dengan ibunya tercinta, sebelum ia menghadap kekasihnya, Allah, yang sangat dicintainya melebihi apapun di dunia ini. Mushhaf Al-Qur’an yang tidak pernah terlepas dari genggamannya ikut menemani saat-saat terakhir. Allah telah memelihara hati yang suci itu dengan Al-Qur’an yang selalu dibawa dan dibaca oleh Nabil. Dia redha terhadap apa yang terjadi. Dia dapat beristirehat dengan tenang menuju destinasi yang kekal.

Sebelum pergi, dia sempat bertemu dengan ibunya yang sangat dicintainya. Dengan senyum menghiasi bibirnya, ia berusaha menenangkan hati ibunya yang selama ini mencintai dan mengasishinya. Dengan berlinangan air mata, ibunya melihat Nabil berbaring tak berdaya di atas tempat tidur dan menciuminya. Ibunya bertanya, “Apakah ada yang sakit wahai anakku?” Nabil menjawab, “Tenanglah wahai ibuku, tidak ada yang sakit sedikitpun, namun.., apakah ibu redha padaku saat ini ...??

Dengan hati pilu melihat keadaan anaknya, sambil mengusap air matanya yang tak henti-hentinya meluncur laju keluar dari kedua kelopak matanya yang mulia, ibunya berkata, “Tentu wahai anakku …. Allah pasti redha padamu, jika Tuhanku redha maka hatiku pun tentu akan sangat redho. Nabil minta ibunya untuk menyampaikan salam pada saudara-saudaranya yang tidak dapat menyaksikan Nabil kerana dihalang pasukan keselamatan.

Perginya seorang pejuang

Beberapa saat kemudian pasukan keselamatan masuk memaksa ibunda Nabil meninggalkan anaknya yang sedang membaca ayat-ayat Allah. Sedetik kemudian anaknya menutup mata untuk terakhir kalinya, walau bibirnya masih nampak bergerak-gerak mengucap dzikir pada Allah.

Dengan langkah yang longlai, ibunya keluar dari ruangan tersebut, namun kini hatinya dipenuhi dengan kesabaran dan ketenangan, walau air matanya tak henti berurai, paling tidak untuk saat ini.

Sesungguhnya berbahagialah mereka yang memilih jalan yang paling diredhai Allah, mereka berjuang memelihara agama Allah daripada terus dipijak ketika saat manusia lain berbalahan merebut harta dan pangkat yang bakal ditinggalkan.

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails